Jumat, 19 Desember 2008

Tinjauan Buku "Jemaat Vital dan Menarik" karya Dr. Jan Hendriks

Suatu pertanyaan krusial ketika meninjau buku ini adalah sederhana : Bagaimana dapat membangun jemaat vital dan menarik? Dikatakan oleh Jan Hendriks, tidak cukup mencari sebab musabab dan menganalisis keadaan, karena hal ini tidak menghasilkan kebijakan. Tidak cukup kita bermimpi tentang jemaat ideal, karena bagaimanapun impian tidak menghasilkan kebijakan. Juga tidak akan menolong kalau jemaat diajak untuk berpartisipasi dengan senang hati dan melibatkan dalam pengabdiannya kepada masyarakat, karena sekedar ajakan tidak memecahkan persoalan.

Dalam membangun vitalisasi jemaat, ternyata lebih penting diperlukan adalah menciptakan kondisi-kondisi sehingga muncul kerelaan hati, kegembiraan dan kesenangan untuk melibatkan diri dalam misi gereja. Ternyata hal ini berarti mengembangkan iklim yang membuat orang saling menghargai dan menerima sebagai subyek. Untuk itu menuntut kepemimpinan yang bersifat pelayanan (pada segala tingkat, dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas). Untuk itu perlu diciptakan sebuah struktur yang memungkinkan pribadi dan kelompok punya ruang untuk bergerak dan juga untuk menghayati kebersamaan sebagai jemaat, selanjutnya bersama-sama merumuskan tujuan, untuk menangani problema-problema real yang ada hubungannya dengan inti Injil, dan dapat terjangkau oleh jemaat. Pada akhirnya semua harus dipertanggungjawabkan dan dikaitkan dengan konsepsi identitas kita. Bagaimana kita dapat mewujudkannya? Jawabannya adalah bahwa setiap jemaat (paroki) harus berpikir mencari dan menggumulkan jawabannya sendiri. Yang paling efektif ialah jalan yang cocok dengan kemungkinan, pengertian, dan riwayat jemaat itu sendiri. Keefektifannya dapat digambarkan dengan memakai rumus:

E = K x P

Efek (E) metode tertentu ialah produk dari kualitas (K) metode itu dan kadar penerimaannya (P). Kalau tidak diterima, maka efek metode itu nihil, walau kualitasnya tinggi. Maka jalan tertentu hanya dapat efektif kalau kita sendiri mendukungnya. Dalam buku ini dibahas dua kemungkinan mewujudkan kondisi menuju vitalisasi jemaat :

1. Memulainya dengan proyek yang baru

2. Mengubah situasi yang ada.

Jan Hendriks memusatkan persoalan pada mengubah situasi yang ada, karena itu dianggap yang paling sering terjadi dan paling rumit. Proses revitalisasi dapat dijalankan secara mendalam dan melibatkan banyak orang dalam prosesnya, dan waktu yang digunakan relatif singkat. Metode ini seringkali disebut “survey-guided development”, jadi metode jemaat yang dipandu oleh riset.

Buku “Jemaat yang Vital dan Menarik” (JVM) berbicara mengenai pembangunan jemaat di mana umat berpartisipasi dengan senang hati dan di mana partisipasi itu membawa hasil atau efek yang baik bagi mereka sendiri maupun bagi realisasi tujuan-tujuan jemaat. Jemaat semacam itu baru disebut jemaat yang vital dan menarik. Menarik dan vital merupakan dua pengertian tidak boleh dipisahkan. Jemaat yang hanya menarik saja cenderung menjadi komunitas yang nostalgis. Jemaat yang hanya vital saja cenderung menjadi komunitas yang fanatik.

Pembentukan jemaat dapat menjadi pintu masuk dan titik pendekatan kita untuk melihat peranan partisipasi jemaat. Namun partisipasi pada jemaat tidak hanya terpengaruh oleh pembentukan itu. Ada dua faktor lain yang kompleks, yaitu perkembangan-perkembangan dalam masyarakat dan kultur – seperti diferensiasi sosial dan pluralisme kultural – dan disposisi masing-masing individu yang ada kaitannya dengan faktor profesi, status, riwayat hidup. Dalam konteks kita, pembentukan jemaat menjadi fokus pintu masuk kita bagi studi tentang partisipasi. Aspek-aspek penting dalam hal pembentukan itu ialah relasi positif dengan pastor, persahabatan antar anggota gereja. Sangat penting ialah cara jemaat memandang dan mewujudkan pluralitas. Buku ini ingin memberikan kontribusi lewat dua cara. Pertama, dengan mempertanyakan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh jemaat agar orang mau berpartisipasi di dalamnya. Berpartisipasi berarti ikut dengan senang hati. Partisipasi itu harus bermakna bagi mereka sendiri dan bagi perwujudan tujuan-tujuan jemaat. Kedua, dengan menggambarkan jalannya yang dapat melaksanakan syarat-syarat itu. Ada tiga catatan Hendriks mengenai perspektif pembangunan jemaat :

1. Pembangunan jemaat bukanlah karya manusia, melainkan karya Allah. Tetapi juga diingatkan bahwa manusia juga adalah kawan sekerja Allah.

2. Kesulitan-kesulitan yang ada dalam jemaat dan masyarakat adalah faktor-faktor sosial yang diciptakan oleh manusia. Maka kita dapat mengubahnya juga, walaupun hal itu tidak mudah, karena sudah menjadi bagian dari budaya manusia dan menjadi dunia di luar kita. Tapi secara prinsip perubahan tetap mungkin.

3. Masih ada cukup sumber kekuatan dalam jemaat sendiri berupa kemampuan dan kemungkinan yang dapat digunakan untuk pembangunan jemaat.

Jan Hendriks menyebutkan lima faktor yang sangat berarti bagi vitalitas jemaat, yaitu: iklim, kepemimpinan, struktur, tujuan serta tugas, dan akhirnya konsepsi identitas. Faktor-faktornya digambarkan bagaikan “pohon-pohon” dan disebut sebagai pendekatan integral. Ada interdependensi atau keterkaitan diantara lima faktor tersebut. Vitalisasi jemaat membutuhkan kebijakan yang memperhitungkan semua faktor itu. Keterkaitan antara faktor-faktor tersebut disebut “hutan”.

Sebuah Catatan Kritis

· Buku JVM ini secara keseluruhan adalah suatu buku yang luar biasa dan unik dan betul-betul sesuai dengan judulnya, “Vital dan Menarik”. Penekanan buku tersebut menekankan jemaat adalah subyek yang diajak terlibat dan berpartisipasi dalam keputusan yang berhubungan dengan vitalisasi jemaat. Hal krusial inilah yang kadang-kadang dikesampingkan oleh para pemimpin gereja. Yang menarik adalah JVM mengajak pembacanya untuk memikirkan dan menata kembali bagaimana hidup berjemaat atau bergereja. Pemikiran kembali menuju ke arah vitalisasi tidak berhubungan dengan mengkompromikan pesan yang diemban gereja, atau membuat suatu model baru yang harus diikuti seluruh gereja, tetapi melihat kondisi jemaat dan berkonteks dengan jemaat yang bersangkutan.

· Partisipatif merupakan kunci yang penting dari buku ini, yaitu menyertakan keseluruhan partisipasi jemaat di dalam proses vitalisasi. Mereka disebut juga arsitek, bukan hanya pelaksana. Disebut juga rekan sekerja bersama-sama sebagai subyek. Hal ini menggugah dan mendorong untuk mempertanyakan kembali realita hidup bergereja, di mana sering jemaat merasa bahwa gereja dan permasalahannya tidak berhubungan dengan dirinya. Jemaat memandang diri ataupun dipandang sebagai generasi penonton, sehingga kegiatan sering tidak ber-relevansi dengan problema jemaat dalam mengarungi hidup secara nyata.

· Prinsip solidaritas dan subsidiaritas terlihat menjadi faktor menuju jalan pembangunan jemaat yang vital dan menarik. Jemaat dipandang sebagai manusia yang dipanggil untuk memikul tanggung jawab dalam kebebasan. Jemaat diarahkan kepada pendewasaan, pengikutsertaan, demokratisasi, dan emansipasi. Ini sesuai dengan kalimat yang mengatakan “A man can be free without being great, but no man can be great without being free.”

· Catatan yang merupakan suatu pertanyaan reflektif dan kritis : Apakah ada kesan buku ini mengasumsikan jemaat mempunyai latar belakang pendidikan demokratis yang cukup? Buku ini terkesan mengasumsikan satu jemaat dalam kuantitas besar yang tinggal di kota besar. Namun suatu hal yang positif ialah secara umum, buku ini mencoba menggunakan studi sosial yang dipakai dengan mengingat catatan teologi praktis, sehingga dapat menjadi suatu sumbangsih yang penting bagi para pemimpin gereja.

1 komentar: