Jumat, 19 Desember 2008

Spiritual Formation as the Foundation for Shepherding

‘… Should not the shepherds feed the sheep ?’ (Ezekiel 34:2)

Menjadi realita masa kini di ladang pelayanan bahwa terdapat berbagai macam arus yang kuat, yang menarik para hamba Tuhan dalam kecenderungan tertentu sehingga menjadikan pelayanan mereka bersifat fragmentaris. Kecenderungan dapat dijabarkan sebagai bentuk pelayanan yang hanya berpusat pada organisasi dan administrasi gereja, leadership, konsultasi psikologis, pelayanan sosial, pelayanan music performance, atau hanya mementingkan khotbah saja. Tidak dapat disangkal bahwa semua bentuk pelayanan adalah penting, tetapi kesemuanya itu seharusnya berlandaskan, dibentuk, diselaraskan, diseimbangkan dan disatukan dengan fokus utama yang adalah spiritual formation, karena menjadi hamba Tuhan bukanlah sekedar mempraktekkan berbagai disiplin ilmu yang didapat dari sekolah teologia ataupun praktek pembelajaran dalam pelayanan tertentu. Pertumbuhan dan pembentukan spiritualitas bukanlah dipandang dalam arti yang sempit menjalankan ritual-ritual tertentu keagamaan Kristen, tetapi sebagai holistic concept, bersifat menyeluruh, spiritualitas yang mempengaruhi pikiran, pandangan, kehidupan, visi dan pelayanan seorang hamba Tuhan sepanjang hidupnya.

I. The Calling Constitutes the Ministry

1. The Pastor’s Calling : a Divine Calling

Spiritual formation dimulai dengan menyadari panggilannya sebagai seorang hamba Tuhan atau gembala sebagai panggilan yang khusus. Meskipun setelah reformasi semua orang percaya dipanggil untuk melayani (the priesthood of all believers), dengan disebutkan sebuah istilah ‘edoke’ (give ) bahwa Tuhan Yesus memanggil orang percaya sebagai pengerja-pengerjaNya yang dilengkapi dengan berbagai karunia dan memberikan mereka untuk pelayanan membangun gerejaNya (Ef. 4:11). Namun panggilan untuk menjadi seorang gembala (pendeta) adalah sebuah panggilan yang berbeda, khusus, ‘exelexamen’, chosen (Yoh. 15:16; Kis. 9:15, 20:28).[1] Jelas bahwa jabatan seorang gembala adalah suatu pilihan yang dibuat oleh Tuhan Yesus dan diteguhkan oleh Roh Kudus. Dapat dipertegas bahwa bukanlah ‘kebutuhan dengan segala implikasinya yang menentukan panggilan atau jabatan kependetaan’ tetapi sebuah panggilan dari Allah yang ilahi, itulah yang menentukan pelayanan. Core atau inti pelayanan seorang hamba Tuhan adalah hati yang dekat dan taat kepada Tuhan. (‘At the heart of ministry is a heart close to God’ - Maxie Dunnam)

2. The Pastor’s Office : a Vocation

Jabatan seorang gembala atau pendeta bukan hanya ‘mata pencaharian atau job ’(a regular activity performed in exchange for payment ), bukan pula ‘karir atau career ‘ (a profession or occupation which one trains for and pursues as a life work ) ; tetapi ‘a vocation (a call, a summons or an impulsion to perform a certain function or a certain career, especially a religious one ). Hal ini berhubungan dengan lima (5) aspek penting :

· Hidup seorang gembala adalah ‘divinely ordained and significant ‘ artinya seorang gembala dipilih secara khusus dan diteguhkan oleh Allah, sehingga seharusnya memiliki perjalanan hidup yang bermakna yakni menjadikan dunia menjadi lebih baik.

· Banyak hal yang dapat dikerjakan oleh seorang gembala, bukan hanya satu hal saja (misalnya hanya berkhotbah), dan semuanya memiliki wonderful purpose.

· Dimanapun seorang gembala berada, dengan vokasinya ia dapat melakukan kehendak Allah untuk memuliakan Allah.

· Bila seorang gembala sudah sadar melakukan ketiga poin di atas, bila terjadi hal terburuk dalam pelayanannya, ternyata tantangan tersebut dapat menjadi semacam God’s training untuk melakukan yang lebih banyak lagi.

· Seorang gembala dipanggil untuk berjalan dengan iman, bukan dengan penglihatan.

3. The Pastor’s Ministry : a Spiritual Direction

Spiritual direction sebagai pelayanan seorang gembala dapat dijelaskan sebagai proses dinamis di mana ia membantu orang lain atau sekelompok orang untuk memperhatikan kehadiran karya Roh Allah di dalam kehidupan mereka dan untuk merawat perjalanan spiritual mereka. Eugene Peterson mengingatkan bahwa secara historis, seorang pendeta dilihat sebagai ‘dokter rohani’, dengan demikian spiritual direction adalah selalu menjadi satu dimensi utama dari pelayanan pendeta. Dengan kata lain tanggung jawab seorang pendeta adalah memelihara jemaatnya untuk hidup selalu dan semakin berpusat pada Allah. Spiritual direction adalah sarana untuk mengintegrasikan kehidupan seseorang dalam hubungannya dengan Allah dan kehidupan doanya, serta membimbing mereka menyatukan pikiran dan hati agar menjalani kehidupan beriman yang suci dan seimbang. Bagaimanapun juga kultur kontemporer kita sudah bertendensi menekankan pada penjelasan dan stimulasi berlebihan pada panca indera lebih daripada pengalaman dan ketenangan bersama Tuhan, lebih menekankan pada pragmatisme daripada kehadiran Allah, keadaan sedemikian menyebabkan terjadinya ketandusan dan kelaparan rohani.



[1] Baker’s Dictionary of Practical Theology, Ralph. G. Turnbull (ed.), Baker Book House, p. 291

Tinjauan Buku "Jemaat Vital dan Menarik" karya Dr. Jan Hendriks

Suatu pertanyaan krusial ketika meninjau buku ini adalah sederhana : Bagaimana dapat membangun jemaat vital dan menarik? Dikatakan oleh Jan Hendriks, tidak cukup mencari sebab musabab dan menganalisis keadaan, karena hal ini tidak menghasilkan kebijakan. Tidak cukup kita bermimpi tentang jemaat ideal, karena bagaimanapun impian tidak menghasilkan kebijakan. Juga tidak akan menolong kalau jemaat diajak untuk berpartisipasi dengan senang hati dan melibatkan dalam pengabdiannya kepada masyarakat, karena sekedar ajakan tidak memecahkan persoalan.

Dalam membangun vitalisasi jemaat, ternyata lebih penting diperlukan adalah menciptakan kondisi-kondisi sehingga muncul kerelaan hati, kegembiraan dan kesenangan untuk melibatkan diri dalam misi gereja. Ternyata hal ini berarti mengembangkan iklim yang membuat orang saling menghargai dan menerima sebagai subyek. Untuk itu menuntut kepemimpinan yang bersifat pelayanan (pada segala tingkat, dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas). Untuk itu perlu diciptakan sebuah struktur yang memungkinkan pribadi dan kelompok punya ruang untuk bergerak dan juga untuk menghayati kebersamaan sebagai jemaat, selanjutnya bersama-sama merumuskan tujuan, untuk menangani problema-problema real yang ada hubungannya dengan inti Injil, dan dapat terjangkau oleh jemaat. Pada akhirnya semua harus dipertanggungjawabkan dan dikaitkan dengan konsepsi identitas kita. Bagaimana kita dapat mewujudkannya? Jawabannya adalah bahwa setiap jemaat (paroki) harus berpikir mencari dan menggumulkan jawabannya sendiri. Yang paling efektif ialah jalan yang cocok dengan kemungkinan, pengertian, dan riwayat jemaat itu sendiri. Keefektifannya dapat digambarkan dengan memakai rumus:

E = K x P

Efek (E) metode tertentu ialah produk dari kualitas (K) metode itu dan kadar penerimaannya (P). Kalau tidak diterima, maka efek metode itu nihil, walau kualitasnya tinggi. Maka jalan tertentu hanya dapat efektif kalau kita sendiri mendukungnya. Dalam buku ini dibahas dua kemungkinan mewujudkan kondisi menuju vitalisasi jemaat :

1. Memulainya dengan proyek yang baru

2. Mengubah situasi yang ada.

Jan Hendriks memusatkan persoalan pada mengubah situasi yang ada, karena itu dianggap yang paling sering terjadi dan paling rumit. Proses revitalisasi dapat dijalankan secara mendalam dan melibatkan banyak orang dalam prosesnya, dan waktu yang digunakan relatif singkat. Metode ini seringkali disebut “survey-guided development”, jadi metode jemaat yang dipandu oleh riset.

Buku “Jemaat yang Vital dan Menarik” (JVM) berbicara mengenai pembangunan jemaat di mana umat berpartisipasi dengan senang hati dan di mana partisipasi itu membawa hasil atau efek yang baik bagi mereka sendiri maupun bagi realisasi tujuan-tujuan jemaat. Jemaat semacam itu baru disebut jemaat yang vital dan menarik. Menarik dan vital merupakan dua pengertian tidak boleh dipisahkan. Jemaat yang hanya menarik saja cenderung menjadi komunitas yang nostalgis. Jemaat yang hanya vital saja cenderung menjadi komunitas yang fanatik.

Pembentukan jemaat dapat menjadi pintu masuk dan titik pendekatan kita untuk melihat peranan partisipasi jemaat. Namun partisipasi pada jemaat tidak hanya terpengaruh oleh pembentukan itu. Ada dua faktor lain yang kompleks, yaitu perkembangan-perkembangan dalam masyarakat dan kultur – seperti diferensiasi sosial dan pluralisme kultural – dan disposisi masing-masing individu yang ada kaitannya dengan faktor profesi, status, riwayat hidup. Dalam konteks kita, pembentukan jemaat menjadi fokus pintu masuk kita bagi studi tentang partisipasi. Aspek-aspek penting dalam hal pembentukan itu ialah relasi positif dengan pastor, persahabatan antar anggota gereja. Sangat penting ialah cara jemaat memandang dan mewujudkan pluralitas. Buku ini ingin memberikan kontribusi lewat dua cara. Pertama, dengan mempertanyakan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh jemaat agar orang mau berpartisipasi di dalamnya. Berpartisipasi berarti ikut dengan senang hati. Partisipasi itu harus bermakna bagi mereka sendiri dan bagi perwujudan tujuan-tujuan jemaat. Kedua, dengan menggambarkan jalannya yang dapat melaksanakan syarat-syarat itu. Ada tiga catatan Hendriks mengenai perspektif pembangunan jemaat :

1. Pembangunan jemaat bukanlah karya manusia, melainkan karya Allah. Tetapi juga diingatkan bahwa manusia juga adalah kawan sekerja Allah.

2. Kesulitan-kesulitan yang ada dalam jemaat dan masyarakat adalah faktor-faktor sosial yang diciptakan oleh manusia. Maka kita dapat mengubahnya juga, walaupun hal itu tidak mudah, karena sudah menjadi bagian dari budaya manusia dan menjadi dunia di luar kita. Tapi secara prinsip perubahan tetap mungkin.

3. Masih ada cukup sumber kekuatan dalam jemaat sendiri berupa kemampuan dan kemungkinan yang dapat digunakan untuk pembangunan jemaat.

Jan Hendriks menyebutkan lima faktor yang sangat berarti bagi vitalitas jemaat, yaitu: iklim, kepemimpinan, struktur, tujuan serta tugas, dan akhirnya konsepsi identitas. Faktor-faktornya digambarkan bagaikan “pohon-pohon” dan disebut sebagai pendekatan integral. Ada interdependensi atau keterkaitan diantara lima faktor tersebut. Vitalisasi jemaat membutuhkan kebijakan yang memperhitungkan semua faktor itu. Keterkaitan antara faktor-faktor tersebut disebut “hutan”.

Sebuah Catatan Kritis

· Buku JVM ini secara keseluruhan adalah suatu buku yang luar biasa dan unik dan betul-betul sesuai dengan judulnya, “Vital dan Menarik”. Penekanan buku tersebut menekankan jemaat adalah subyek yang diajak terlibat dan berpartisipasi dalam keputusan yang berhubungan dengan vitalisasi jemaat. Hal krusial inilah yang kadang-kadang dikesampingkan oleh para pemimpin gereja. Yang menarik adalah JVM mengajak pembacanya untuk memikirkan dan menata kembali bagaimana hidup berjemaat atau bergereja. Pemikiran kembali menuju ke arah vitalisasi tidak berhubungan dengan mengkompromikan pesan yang diemban gereja, atau membuat suatu model baru yang harus diikuti seluruh gereja, tetapi melihat kondisi jemaat dan berkonteks dengan jemaat yang bersangkutan.

· Partisipatif merupakan kunci yang penting dari buku ini, yaitu menyertakan keseluruhan partisipasi jemaat di dalam proses vitalisasi. Mereka disebut juga arsitek, bukan hanya pelaksana. Disebut juga rekan sekerja bersama-sama sebagai subyek. Hal ini menggugah dan mendorong untuk mempertanyakan kembali realita hidup bergereja, di mana sering jemaat merasa bahwa gereja dan permasalahannya tidak berhubungan dengan dirinya. Jemaat memandang diri ataupun dipandang sebagai generasi penonton, sehingga kegiatan sering tidak ber-relevansi dengan problema jemaat dalam mengarungi hidup secara nyata.

· Prinsip solidaritas dan subsidiaritas terlihat menjadi faktor menuju jalan pembangunan jemaat yang vital dan menarik. Jemaat dipandang sebagai manusia yang dipanggil untuk memikul tanggung jawab dalam kebebasan. Jemaat diarahkan kepada pendewasaan, pengikutsertaan, demokratisasi, dan emansipasi. Ini sesuai dengan kalimat yang mengatakan “A man can be free without being great, but no man can be great without being free.”

· Catatan yang merupakan suatu pertanyaan reflektif dan kritis : Apakah ada kesan buku ini mengasumsikan jemaat mempunyai latar belakang pendidikan demokratis yang cukup? Buku ini terkesan mengasumsikan satu jemaat dalam kuantitas besar yang tinggal di kota besar. Namun suatu hal yang positif ialah secara umum, buku ini mencoba menggunakan studi sosial yang dipakai dengan mengingat catatan teologi praktis, sehingga dapat menjadi suatu sumbangsih yang penting bagi para pemimpin gereja.